Benda-benda cagar budaya dengan material kayu dapat dengan mudah ditemukan pada koleksi alat/artefak, temuan ekskavasi, dan bangunan dengan komponen-komponennya seperti tiang, rangka atap, pintu, jendela dan sebagainya. Seiring berjalannya waktu, material kayu yang merupakan bahan organik rentan mengalami kerusakan seperti pelapukan dan pengeroposan. Oleh sebab itu, museum sebagai tempat perawatan, penyimpanan dan penelitian benda cagar budaya perlu memberikan perhatian khusus terhadap koleksi berbahan kayu dengan rutin melaksanakan kegiatan konservasi.
Kegiatan konservasi merupakan tindakan teratur untuk melindungi sumber daya arkeologi dari kerusakan. Prinsip dari konservasi ini diatur dalam Pasal 58 UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Cagar Budaya bahwa penyelamatan cagar budaya dilakukan untuk mencegah kerusakan karena faktor manusia dan/atau alam yang mengakibatkan berubahnya keaslian dan nilai-nilai yang menyertainya.
Dalam hal ini, penting bagi pengelola museum untuk memiliki pengetahuan terkait konservasi baik secara teori maupun praktek. Oleh sebab itu, Museum BPK RI mengajak pengelola museum di Kota Magelang untuk mengikuti Workshop Konservasi Kayu yang diselenggarakan pada hari Rabu, 15 Februari 2023 di Ruang Pamer Museum BPK RI.
Nahar Cahyandaru, manajer konservasi cagar budaya, koleksi museum dan galeri di Museum dan Cagar Budaya (UPT Balai Konservasi Borobudur), hadir sebagai narasumber pada workshop kali ini. Kegiatan Workshop konservasi kayu ini dibagi kedalam dua sesi, yakni sesi materi dan praktik. Dalam sesi materi, Nahar menjelaskan ada dua faktor yang dapat menyebabkan kerusakan pada kayu, yaitu faktor internal seperti jenis kayu, teknologi pengerjaan, posisi dalam struktur dan posisi terhadap tanah serta faktor eksternal seperti mekanis, fisis-kimiawi, degradasi oleh cahaya, suhu dan kelembapan dan biologis.
Pada sesi praktik, peserta workshop diajak untuk langsung melaksanakan konservasi kayu yang terdiri dari tiga teknik. Pertama, pembersihan jamur menggunakan bahan alami rendaman tembakau cengkeh untuk mematikan jamur dan ganggang, dan mencegah serangan serangga. Kedua, perekatan alami menggunakan campuran anchor dan air untuk koleksi atau artefak kecil yang pecah dan harus direkatkan kembali. Ketiga, injeksi untuk mengisi lubang/filling menggunakan lem efoksi. Ketiga teknik tersebut merupakan teknik dasar dalam melaksanakan konservasi kayu sehingga peserta diharapkan dapat mengembangkan lagi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi permasalahan di lapangan.
Selama sesi praktek, para peserta aktif melakukan tanya jawab dengan narasumber terkait permasalahan konservasi kayu di masing-masing museum. Melalui kegiatan ini, diharapkan para pengelola museum mendapatkan tambahan pengetahuan dan keterampilan dalam menjalankan tugasnya di museum khususnya dalam hal konservasi. Seperti yang disampaikan Dicky Dewarijanto, kepala Museum BPK RI, kegiatan belajar bersama ini tidak hanya dapat menambah ilmu mengenai konservasi, tetapi juga dapat menambah kedekatan antar pengelola museum di Kota Magelang untuk saling berbagi dan mengisi.